Zakat


Pengertian

Secara bahasa, zakat itu bermakna : [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4] barakah. (lihat kamus Al-Mu`jam al-Wasith jilid 1 hal. 398). Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab. 

Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan unutk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat). Lihat Fiqhuz Zakah karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi jilid 1 halaman 38. 

Kata zakat di dalam Al-Quran disebutkan 32 kali. 30 kali dengan makna zakat dan dua kali dengan konteks dan makna yang bukan zakat. 8 dari 30 ayat itu turun di masa Mekkah dan sisanya yang 22 turun di masa Madinah. (lihat kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras karya Ust. Muhammad fuad Abdul Baqi). 

Sedangkan Imam An-Nawawi pengarang kitab Al-Hawi mengatakan bahwa istilah zakat adalah istilah yang telah dikenal secara `urf oleh bangsa Arab jauh sebelum masa Islam datang. Bahkan sering disebut-sebut dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili sebelumnya. 

Hal yang sama dikemukakan oleh Daud Az-Zhahiri yang mengatakan bahwa kata zakat itu tidak punya sumber makna secara bahasa. Kata zakat itu merupakan `urf dari syariat Islam. 

Perbedaan Antara Zakat, Infaq dan Shadaqah 

Kata shadaqah makna asalnya adalah tahqiqu syai`in bisyai`i, atau menetapkan / menerapkan sesuatu pada sesuatu. Dan juga berasal dari makna membenarkan sesuatu. 

Meski lafaznya berbeda, namun dari segi makna syar`i hampir-hampir tidak ada perbedaan makna shadaqah dengan zakat. Bahkan Al-quran sering menggunakan kata shadaqah dalam pengertian zakat. Allah SWT berfirman : 

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.? (QS. At-Taubah :103). 

Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah. (QS.At-Taubah : 58). 

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu`allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 60). 

Rasulullah SAW dalam hadits pun sering menyebut shadaqah dengan makna zaakt. Misalnya hadits berikut : 

Harta yang kurang dari lima wasaq tidak ada kewajiban untuk membayar shadaqah (zakat). (HR. Bukhari Muslim). 

Begitu juga dalam hadits yang menceritakan mengiriman Muaz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah SAW memberi perintah,

"beritahu mereka bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan shadaqah (zakat) dari sebagian harta mereka". 

Sehingga Al-Mawardi mengatakan bahwa shadaqah itu adalah zakat dan zakat itu adalah shadaqah. Namanya berbeda tapi maknanya satu. (lihat Al-ahkam As-Sulthaniyah bab 11). 

Bahkan orang yang menjadi Amil zakat itu sering disebut dengan Mushaddiq, karean dia bertugas mengumpulkan shadaqah (zakat) dan membagi-bagikannya. Kata shadaqah disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 12 kali yang kesemuanya turun di masa Madinah. 

Hal yang membedakan makna shadaqah dengan zakat hanyalah masalah `urf, atau kebiasaan yang berkembang di tengah masyarakat. Sebenarnya ini adalah semcam penyimpangan makna. Dan jadilah pada hari ini kita menyebut kata shadaqah untuk yang bersifat shadaqah sunnah / tathawwu`. 

Sedangkan kata zakat untuk yang bersifat wajib. Padahal ketika Al-Quran turun, kedua kata itu bermakna sama. Hal yang sama juga terjadi pada kata infaq yang juga sering disebutkan dalam Al-Quran, dimana secara kata infaq ini bermakna lebih luas lagi. Karena termasuk di dalamnya adalah memberi nafkah kepada istri, anak yatim atau bentuk-bentuk pemberian yang lain. Dan secara `urf, infaq pun sering dikonotasikan dengan sumbangan sunnah. 

Kewajiban Untuk Mengeluarkan Zakat

Ada dua kemungkian orang tidak mengeluarkan zakat. 

Kemungkinan pertama, adalah orang yang enggan bayar zakat, namun tidak sampai mengingkari adanya kewajiban zakat dalam syariat Islam. 

Kemungkinan yang kedua, sudah lebih parah, yaitu mengingkari eksistensi adanya syariat zakat dalam hukum Islam. 

Maka sanksi bagi kasus kedua adalah lepasnya status keislaman dan halal darahnya. Awal para shahabat pun memandang bahwa kaum yang tidak mau bayar zakat sepeninggal Rasulullah SAW itu tidak perlu dibunuh atau tidak perlu diperangi. 

Namun Abu Bakar melihat kasus itu lebih dalam dan menemukan bahwa pangkal persoalannya bukan semata-mata curang atau menghindar, melainkan sudah sampai kepada level pengingkaran adanya syariat zakat itu sendiri. Hal itu dijelaskan di dalam hadits berikut ini : 

Dari Abi Hurairah ra bahwa ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, sebagian orang orang arab menjadi kafir. Umar bertanya,”Mengapa Anda memerangi mereka ? Padahal Rasulullah SAW telah bersabda,”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La Ilaaha Illallah, yang telah mengucapkannya maka terlindung dariku harta dan jiwanya dan hisabnya kepada Allah SWT ?”. Abu Bakar menjawab,”Demi Allah, aku pasti memerangi mereka yang membedakan antara shalat dan zakat. Sebab zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar seekor kambing muda yang dahulu pernah dibayarkannya kepada Rasulullah SAW, pastilah aku perangi”. Umar berkata,”Demi Allah, hal ini tidak lain karena Allah SWT telah melapangkan dada Abu Bakar dan baru aku tahu bahwa hal itu adalah benar”. (HR. Bukhari Muslim Abu daud Tirmizi Nasai Ahmad) 

Setelah mengetahui duduk persoalannya, barulah para shahabat lainnya menyadari perbedaan mendasar dua kasus itu. Maka berangkatlah pasukan yang memerangi pada ‘jahid’ zakat. Tindakan Abu Bakar itu bisa dikatakan menjadi kesepakatan para shahabat di kala itu.

Kriteria Harta Yang Wajib Dizakatkan 

Tidak semua jenis harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya. Berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Sunnah, para ulama telah menyusun kriteria jenis harta yang wajib dizakati. Bila harta seseorang tidak memiliki kriteria yang telah ditetapkan, maka tidak ada kewajiban zakat. Meski pun secara nominal lebih tinggi.
Namun yang menjadi ukuran apakah harta yang dimiliki oleh seseorang itu wajib dikeluarkan zakat atau tidak, bukan sekedar nilainya (nishab), tetapi masih ada sisi-sisi lainnya serta kriteria-kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Paling tidak ada 5 kriteria utama yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu :
1. Harta itu dimiliki secara sempurna (al-milkut-taam)
Yang dimaksud dengan harta yang dimiliki secara sempurna adalah seseorang memiliki harta secara sepenuhnya dan dia mampu untuk membelanjakannya atau memakainya, kapan pun dia mau melakukannya. Hal ini berbeda dengan seorang yang memiliki harta dengan tidak secara sempurna. Yaitu dimana seseorang secara status memang menjadi pemilik, namun dalam kenyataannya, harta itu tidak sepenuhnya dikuasainya.
Ketidak-sempurnaan kepemilikan bisa juga berbentuk harta yang tidak dimiliki oleh orang tertentu, melainkan dimiliki secara kolektif oleh sekumpulan orang yang tidak bisa ditentukan jati dirinya satu per satu. Kepemilikan atas suatu harta secara kolektif tanpa diketahui secara pasti hak masing-masing, telah menggugurkan pengertian kepemilikan secara sempurna.
Contoh-contoh lebih detail dari harta yang dimiliki secara tidak sempurna antara lain :
a. Uang yang dipinjam dan tidak jelas statusnya, akan kembali atau tidak. 
Misalnya A memiliki uang bermilyar, tetapi uangnya dipinjam pihak lain (B). Namun ternyata B kemudian menghabiskan uang itu, tanpa pernah tahu apakah dia bisa membayarkannya suatu hari atau tidak. Secara hukum, uang yang dipinjam itu milik A, namun karena tidak jelas lagi apakah uangnya itu akan kembali atau tidak, maka kepemilikian uang itu oleh A disebut kepemilikan yang tidai sempurna. Maka dalam hal ini, A tidak diwajibkan membayar zakat atas uang yang tidak lagi dimilikinya secara sempurna itu.
b. Harta yang telah diwaqafkan untuk umat
Bentuk lain dari syarat yang pertama ini adalah bila ada harta yang tidak ada atau tidak jelas pemiliknya secara pasti, maka harta itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Misalnya harta yang telah diwaqafkan untuk umat Islam. Harta waqaf itu tidak dimiliki oleh perorangan, tetapi menjadi milik bersama umat Islam, maka tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat dari harta yang telah diwaqafkan.
Namun dalam masalah waqaf ini, ada juga jenis waqaf yang lebih spesifik dan berbeda dengan yang biasa kita kenal. Ada pihak tertentu yang mendapatkan harta waqaf yang bersifat pribadi, dimana pihak pemberi waqaf memberikan harta kepada seseorang sebagai harta waqaf yang dimiliki secara sempurna. Misalnya, seorang kaya mewaqafkan rumah untuk seorang ustadz agar dijadikan tempat tinggal khusus untuk ustadz itu saja. Maka status rumah itu bukan waqaf untuk umat, melainkan waqaf untuk seseorang. Dalam hal ini, rumah itu dikatakan telah dimiliki secara sempurna.
c. Harta untuk pihak tertentu secara massal
Demikian juga harta yang dikumpulkan untuk korban bencara alam, fakir miskin atau anak yatim. Harta seperti ini bukan lagi milik perorangan atau pihak tertentu, melainkan telah menjadi hak mereka secara umum. Harta yang seperti ini pun termasuk yang tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Sebab dalam hal ini, belum ditetapkan jati diri tiap orang dan berapa nilai yang mereka miliki.
Namun bila harta itu telah dibagikan per individu, dimana masing-masing orang telah menerima secara sepenuhnya harta untuk mereka, maka barulah harta itu dikatakan telah dimiliki secara sempurna. d. Harta milik negara
Termasuk dalam kriteria ini adalah harta yang dimiliki oleh negara. Harta itu berarti tidak dimiliki oleh perorangan, melainkan menjadi harta bersama milik rakyat. Sehingga tidak ada kewajiban untuk mengeluarkan zakat atas harta milik negara. Dalam hal ini, harta milik negara tidak bisa dikatakan milik orang per orang atau milik jati diri tertentu, melainkan dimiliki secara kolektif oleh rakyat suatu negara.
e. Harta pinjaman
Dan yang paling jelas dari semua hal di atas, harta pinjaman dari pihak lain termasuk dalam kriteria ini. Bila seseorang dipinjami harta oleh pihak lain, jelas sekali bahwa dia bukanlah pemilik harta pinjaman itu. Maka si peminjam sama sekali tidak punya kewajiban untuk mengeluarkan zakatnya. Sebab si peminjam bukanlah pemilik harta itu.
2. Harta itu tumbuh (an-nama`)
Syarat kedua adalah bahwa harta itu adalah harta yang tumbuh atau bisa ditumbuhkan, harta itu tidak mati atau tidak diam. Dalam bahasa kita sekarang ini, harta itu dimiliki pokoknya namun bersama dengan itu, harta itu bisa memberikan pemasukan atau keuntungan bagi pemiliknya.
Di antara contoh harta yang termasuk tumbuh adalah :
Uang yang diinvestasikan dalam sebuah perdagangan. Dimana perdagangan itu sendiri akan memberikan keuntungan, sementara uang yang menjadi modalnya tetap utuh. Harta berbentuk usaha pertanian, dimana seiring dengan berjalannya waktu, para petani akan memanen hasil dari bibit yang ditanamnya. Pertumbuhan ini akan melahirkan konsekuensi kewajiban zakat. Sedangkan bila bibit tumbuhan itu tidak ditanam, maka tidak akan ada pertumbuhan, maka tidak ada kewajiban zakat.
Demikian juga dengan harta yang dimiliki oleh seorang peternak, dimana awalnya dia hanya memiliki anak sapi, kemudian dipelihara sedemikian rupa hingga anak sapi itu tumbuh menjadi sapi dewasa. Anak kambing yang dipelahara kemudian tumbuh menjadi kambin dewasa, anak ayam yang dipelihara kemudian tumbuh menjadi ayam dewasa. Disini jelas sekali ada unsur pertumbuhan. Atau pertumbuhan itu bukan pada badannya, tapi pada jumlahnya, dimana ternak-ternak itu melahirkan anak sehingga semakin hari jumlahnya tumbuh menjadi semakin banyak. Semua fenomena pertumbuhan inilah yang mewajibkan zakat.
Bahkan para ulama mengatakan bahwa uang tunai itu dianggap sebagai harta yang tumbuh. Meskipun pemiliknya mendiamkannya saja atau menyimpannya di dalam lemari. Sebab uang tunai itu sudah berbentuk harta yang siap langsung diinvestasikan dan diputar sebagai modal, kapan saja dan dimana saja. Berbeda dengan harta dalam bentuk tanah atau rumah yang bukan dana segar. Benda-benda itu tidak bisa secara langsung dianggap tumbuh, kecuali bila disewakan. Karena itulah para ulama mewajibkan zakat atas uang tunai, meski disimpan oleh pemiliknya. Sedangkan rumah atau tanah kosong yang dimiliki namun tidak memberikan pemasukan apapun kepada pemiliknya, tidaklah diwajibkan zakat.
3. Harta itu memenuhi jumlah standar minimal (nisab)
Bila suatu harta belum memenuhi jumlah tertentu, maka belum ada kewajiban zakat atas harta itu. Namun sebaliknya, bila jumlahnya telah sampai pada batas tertentu atau lebih, barulah ada kewajiban zakat atasnya. Jumlah tertentu ini kemudian disebut dengan istilah nisab.
Namun nisab masing-masing jenis harta sudah ditentukan langsung oleh Rasulullah SAW. Dan kalau dikomparasikan antara nisab jenis harta tertentu dengan nisab lainnya dari nilai nominalnya, maka sudah pasti tidak sama.
Misalnya, nishab zakat emas adalah 85 gram. Sedangkan nisab zakat beras adalah 520 kg. Bila dinilai secara nominal, harga 85 gram emas itu berbeda dengan harga 520 kg beras. Kita tidak bilang bahwa ketentuan nisab ini tidak adil. Sebab yang menentukannya Rasulullah SAW sendiri. 
Dan kita perlu sadari, bahwa jenis harta itu memang berbeda-beda, maka wajar pula bila nilai nominal nisabnya pun berbeda pula. Daftar lengkap nisab masing-masing jenis harta, bila anda lihat pada tabel di bawah.
4. Harta itu telah dimiliki untuk jangka waktu tertentu (haul)
Para ulama telah menetapkan bahwa bila seseorang memiliki harta dalam waktu singkat, maka dia tidak bisa dikatakan sebagai orang kaya. Sehingga ditetapkan harus ada masa kepemilikan minimal atas sejumlah harta, agar pemiliknya dikatakan sebagai orang yang wajib membayar zakat.
Yang penting untuk diketahui, bahwa batas kepemilikan ini dihitung berdasarkan lama satu tahun hijriyah. Bukan dengan hitungan tahun masehi. Dan sebagaimana diketahui, bahwa jumlah hari dalam setahun dalam kalender hijriyah lebih sedikit dibandingkan kalender masehi.
Bila seseorang pada tanggal 15 Rajab 1425 H mulai memiliki harta yang memenuhi syarat wajib zakat, maka setahun kemudian pada tanggal 15 rajab 1426 H dia wajib mengeluarkan zakat atas harta itu.
5. Harta itu telah melebihi kebutuhan dasar
Sebagian ulama menambahkan syarat lainnya, yaitu bahwa sebuah harta baru diwajibkan untuk dizakatkan, manakala pemiliknya telah terpenuhi hajat dasarnya atas harta itu. Sebagaimana ditetapkan oleh mazhab Al-Hanafiyah dalam kebanyakan kitab mereka. Sebab bila seseorang yang punya harta banyak, namun dia juga punya hajat dasar atau tanggungan yang lebih banyak lagi, maka pada hakikatnya dia justru orang yang kekurangan.
Yang dimaksud dengan kebutuhan atau hajat dasar tentu saja relatif, namun bukan berarti setiap orang berhak menentukan sendiri apa kebutuhannya. Lagi pula, bukan berarti setiap yang diinginkan atau menjadi selera seseorang, bisa dimasukkan ke dalam kategori kebutuhan pokok. Tidak demikian pengertiannya.
Tentu bukan perbuatan yang benar bila seorang yang terbiasa hidup enak di kawasan elit, makan enak di restoran mahal bisa saja dianggap sebagai hajat dasar. Kemana-mana naik pesawat kelas utama buat sebagian kalangan memang bisa dianggap hajat pokok, atau punya mobil mewah, pembantu 12 orang, satpam rumah 12 orang, bisa saja diakui sebagai hajat pokok. Namun tentu saja bukan itu yang dimaksud dengan kriteria ini.
Yang dimaksud adalah kebutuhan yang memang benar-benar mendasar buat seorang manusia untuk bisa menyambung hidupnya. Misalnya, kebutuhan untuk makan dan mengisi perutnya, kebutuhan untuk bisa tertutup auratnya dengan sehelai pakaian, kebutuhan untuk bisa berlindung di bawah sebuah atap rumah, meskipun seadanya atau mengontrak murah. Sekedar dirinya bisa terlindungi dari terik matahari, curah hujan atau tusukan dingin angin musim dingin.
6. Pemiliknya bukan orang yang selamat dari hutang
Sebagian ulama menambahkan syarat terakhir, yaitu bila seseorang memiliki harta yang memenuhi kriteria di atas, namun dirinya sendiri punya hutang kepada pihak lain, maka dia tidak lagi punya kewajiban membayar zakat.
Namun yang dimaksud dengan hutang disini bukan sembarang hutang. Maksudnya adalah hutang yang besar dimana bila hartanya itu dikurangi dengan nilai kewajiban yang harus dibayarkan, maka hutang itu membuat harta yang dimilikinya tidak lagi memenuhi nisab zakatnya. 
Dalam keadaan demikan, maka gugurlah kewajiban zakat baginya. Sebab pada hakikatnya orang itu sebenarnya tidak punya harta yang memenuhi nisab zakat. Sehingga bagaimana mungkin dia diwajibkan untuk membayar zakat?. Sedangkan hartanya yang banyak itu, seolah-olah harta pinjaman, bukan miliknya yang hakiki.

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

BUKU PAI SMK

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Followers

    Buku Tamu, Saran & Kritik


Recent Comments